Nama : Siti Khayati
Npm : 1116011068
Makul : Sosiologi Politik
A.
Partisipasi
Politik
Pengertian partisipasi politik adalah kegiatan
warganegara yang bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan politik.
Partisipasi politik dilakukan orang dalam posisinya sebagai warganegara, bukan
politikus ataupun pegawai negeri. Sifat partisipasi politik ini adalah
sukarela, bukan dimobilisasi oleh negara ataupun partai yang berkuasa.
Samuel P. Huntington dan Joan Nelson dalam karya
penelitiannya No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries,
memberi catatan berbeda: Partisipasi yang bersifat mobilized (dipaksa) juga
termasuk ke dalam kajian partisipasi politik. Partisipasi sukarela dan
mobilisasi hanya dalam aspek prinsip, bukan kenyataan tindakan: Intinya baik
sukarela ataupun dipaksa, warganegara tetap melakukan partisipasi politik. Potret Indonesia
Ruang bagi partisipasi politik adalah sistem politik.
Sistem politik memiliki pengaruh untuk menuai perbedaan dalam pola partisipasi
politik warganegaranya. Pola partisipasi politik di negara dengan sistem
politik Demokrasi Liberal tentu berbeda dengan di negara dengan sistem Komunis
atau Otoritarian. Bahkan, di negara-negara dengan sistem politik Demokrasi
Liberal juga terdapat perbedaan, seperti yang ditunjukkan Oscar Garcia Luengo,
dalam penelitiannya mengenai E-Activism: New Media and Political Participation
in Europe. Warganegara di negara-negara Eropa Utara (Swedia, Swiss, Denmark)
cenderung lebih tinggi tingkat partisipasi politiknya ketimbang negara-negara
Eropa bagian selatan (Spanyol, Italia, Portugal, dan Yunani).
B. Landasan
Partisipasi Politik
Landasan partisipasi politik adalah asal-usul individu
atau kelompok yang melakukan kegiatan partisipasi politik. Huntington dan
Nelson membagi landasan partisipasi politik ini menjadi:
- kelas – individu-individu dengan status sosial, pendapatan, dan pekerjaan yang serupa.
- kelompok atau komunal – individu-individu dengan asal-usul ras, agama, bahasa, atau etnis yang serupa.
- lingkungan – individu-individu yang jarak tempat tinggal (domisilinya) berdekatan.
- partai – individu-individu yang mengidentifikasi diri dengan organisasi formal yang sama yang berusaha untuk meraih atau mempertahankan kontrol atas bidang-bidang eksekutif dan legislatif pemerintahan, dan
- golongan atau faksi – individu-individu yang dipersatukan oleh interaksi yang terus menerus antara satu sama lain, yang akhirnya membentuk hubungan patron-client, yang berlaku atas orang-orang dengan tingkat status sosial, pendidikan, dan ekonomi yang tidak sederajat.
C. Mode
Partisipasi Politik
Mode partisipasi politik adalah tata cara orang melakukan
partisipasi politik. Model ini terbagi ke dalam 2 bagian besar: Conventional
dan Unconventional. Conventional adalah mode klasik partisipasi politik seperti
Pemilu dan kegiatan kampanye. Mode partisipasi politik ini sudah cukup lama
ada, tepatnya sejak tahun 1940-an dan 1950-an. Unconventional adalah mode
partisipasi politik yang tumbuh seiring munculkan Gerakan Sosial Baru (New
Social Movements). Dalam gerakan sosial baru ini muncul gerakan pro lingkungan
(environmentalist), gerakan perempuan gelombang 2 (feminist), protes mahasiswa
(students protest), dan terror.
D. Bentuk-Bentuk
Partisipasi Politik
Bentuk-bentuk partisipasi politik dapat dilakukan
melalui berbagai macam kegiatan
dan melalui berbagai wahana. Namun bentuk-bentuk
partisipasi politik yang terjadi di
berbagai negara dapat dibedakan menjadi kegiatan
politik dalam bentuk konvensional dan
nonkonvensional, sebagaimana dikemukakan oleh Gabriel
Almond.
Bentuk partisipasi politik menurut Gabriel Almond
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
bentuk konvensional dan bentuk nonkonvensional.
a. Bentuk konvensional
Bentuk konvensional antara lain:
1) dengan pemberian suara (voting),
2) dengan diskusi kelompok,
3) dengan kegiatan kampanye,
4) dengan membentuk dan bergabung dalam kelompok
kepentingan,
5) dengan komunikasi individual dengan pejabat
politik/administratif,
6) dengan pengajuan petisi.
b. Bentuk nonkonvensional
Bentuk nonkonvensional antara lain:
1) dengan berdemonstrasi,
2) dengan konfrontasi,
3) dengan pemogokan,
4) tindakan kekerasan politik terhadap harta benda,
perusakan, pemboman dan pembakaran,
5) tindak kekerasan politik manusia
penculikan/pembunuhan,
6) dengan perang gerilya/revolusi.
Sedangkan Ramlan Surbakti menyatakan bahwa partisipasi
politik warga negara
dibedakan menjadi dua, yaitu partisipasi aktif dan
partisipasi pasif.
a. Partisipasi aktif
Partisipasi aktif yaitu kegiatan warga negara dalam
ikut serta menentukan kebijakan dan
pemilihan pejabat pemerintahan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara demi kepentingan
bersama. Bentuk partisipasi aktif antara lain
mengajukan usulan tentang suatu kebijakan,
mengajukan saran dan kritik tentang suatu kebijakan
tertentu, dan ikut partai politik.
b. Partisipasi pasif
Partisipasi pasif yaitu kegiatan warga negara yang
mendukung jalannya pemerintahan
negara dalam rangka menciptakan kehidupan negara yang
sesuai tujuan. Bentuk partisipasi
pasif antara lain menaati peraturan yang berlaku dan
melaksanakan kebijakan pemerintah.
Menurut Huntington dan Nelson, bentuk kegiatan utama
dalam partisipasi politik dibagi
menjadi lima bentuk, yaitu:
a. kegiatan pemilihan,
b. lobi,
c. kegiatan organisasi,
d. mencari koneksi,
e. tindakan kekerasan.
Dengan demikian, berbagai partisipasi politik warga
negara dapat dilihat dari berbagai
kegiatan warga, yaitu:
a. Terbentuknya organisasi-organisasi maupun
organisasi kemasyarakatan sebagai bagian
dari kegiatan sosial dan penyalur aspirasi rakyat.
b. Lahirnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai
kontrol sosial maupun pemberi
input terhadap kebijakan pemerintah.
c. Pelaksanaan pemilu yang memberi kesempatan warga
negara untuk menggunakan hak
pilihnya, baik hak pilih aktif maupun hak pilih pasif.
d. Munculnya kelompok-kelompok kontemporer yang
memberi warna pada sistem input dan
output kepada pemerintah.
Aktivitas politik merupakan salah satu indikator
terjaminnya kehidupan yang demokratis.
Jaminan kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat tersalurkan melalui
kegiatan politik. Hanya saja, kegiatan politik yang
dilakukan haruslah disesuaikan dengan
nilai-nilai luhur Pancasila. Budaya politik yang
dilakukan bangsa Indonesia harus dijiwai
nilai-nilai luhur Pancasila.
Dimensi Subyektif Individu
Dimensi subyektif adalah serangkaian faktor psikologis
yang berpengaruh terhadap keputusan seseorang untuk terlibat dalam partisipasi
politik. Faktor-faktor ini cukup banyak, yang untuk kepentingan tulisan ini
hanya akan diajukan 2 jenis saja yaitu Political Dissafection dan Political
Efficacy.
Political Disaffection
Political Disaffection adalah istilah yang mengacu
pada perilaku dan perasaan negatif individu atau kelompok terhadap suatu sistem
politik. Penyebab utama dari political disaffection ini dihipotesiskan adalah
media massa, terutama televisi. Hipotesis tersebut diangkat dari kajian Michael
J. Robinson selama 1970-an yang mempopulerkan istilah “videomalaise”.
Dengan banyaknya individu menyaksikan acara televisi,
utamanya berita-berita politik, mereka mengalami keterasingan politik
(political alienation). Keterasingan ini akibat melemahnya dukungan terhadap
struktur-struktur politik yang ada di sistem politik seperti parlemen,
kepresidenan, kehakiman, partai politik, dan lainnya. Individu merasa bahwa
struktur-struktur tersebut dianggap tidak lagi memperhatikan kepentingan
mereka. Wujud keterasingan ini muncul dalam bentuk sinisme politik berupa
protes-protes, demonstrasi-demonstrasi, dan huru-hara. Jika tingkat political
disaffection tinggi, maka para individu atau kelompok cenderung memilih bentuk
partisipasi yang sinis ini.
Political Efficacy. Political Efficacy adalah istilah
yang mengacu kepada perasaan bahwa tindakan politik (partisipasi politik)
seseorang dapat memiliki dampak terhadap proses-proses politik. Keterlibatan
individu atau kelompok dalam partisipasi politik tidak bersifat pasti atau
permanen melainkan berubah-ubah. Dapat saja seseorang yang menggunakan hak-nya
untuk memiliki di suatu periode, tidak menggunakan hak tersebut pada periode
lainnya. Secara teroretis, ikut atau tidaknya individu atau kelompok ke dalam
bentuk partisipasi politik bergantung pada Political Political Efficacy ini.
Pernyataan-pernyataan sehubungan dengan masalah
Political Efficacy ini adalah:
- “Saya berpikir bahwa para pejabat itu tidak cukup peduli dengan apa yang saya pikirkan.”
- "Ikut mencoblos dalam Pemilu adalah satu-satunya cara bagaimana orang seperti saya ini bisa berkata sesuatu tentang bagaimana pemerintah itu bertindak.”
- “Orang seperti saya tidak bisa bicara apa-apa tentang bagaimana pemerintah itu sebaiknya.”
- “Kadang masalah politik dan pemerintahan terlalu rumit agar bisa dimengerti oleh orang seperti saya.”
Political efficacy terbagi 2 yaitu external political
efficacy dan internal political efficacy. External political efficacy ditujukan
kepada sistem politik, pemerintah, atau negara dan diwakili oleh pernyataan
nomor 1 dan 3. Sementara internal political efficacy merupakan kemampuan
politik yang dirasakan di dalam diri individu, yang diwakili peryataan nomor 2
dan 4. Dari sisi stabilitas politik, sebagian peneliti ilmu politik menganggap
bahwa stabilitas politik akan lahir jika tingkat internal political efficacy
rendah dan tingkat external political efficacy tinggi.
Referensi
- Christina Holtz-Bacha, Political Disaffection, dalam dalam Lynda Lee Kaid and Christina Holtz-Bacha, Encyclopedia of Political Communication, (California : Sage Publications, 2008) p.577-9.
- Jan W. van Deth, Political Participation, dalam Lynda Lee Kaid and Christina Holtz-Bacha, Encyclopedia ..., ibid., p.531-2.
- Kai Arzheimer, Political Efficacy, dalam Lynda Lee Kaid and Christina Holtz-Bacha, Encyclopedia ..., ibid., p.531-2. p. 579-80.
- Oscar Garcia Luengo, E-Activism New Media and Political Participation in Europe, (CONFines 2/4 agosto-diciembre 2006)
- Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990) h. 9-10.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar