Rabu, 22 Mei 2013

Partisipasi politik



Nama              : Siti Khayati
Npm                : 1116011068
Makul             : Sosiologi Politik

A.    Partisipasi Politik
Pengertian partisipasi politik adalah kegiatan warganegara yang bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan politik. Partisipasi politik dilakukan orang dalam posisinya sebagai warganegara, bukan politikus ataupun pegawai negeri. Sifat partisipasi politik ini adalah sukarela, bukan dimobilisasi oleh negara ataupun partai yang berkuasa.

Samuel P. Huntington dan Joan Nelson dalam karya penelitiannya No Easy Choice: Political Participation in Developing Countries, memberi catatan berbeda: Partisipasi yang bersifat mobilized (dipaksa) juga termasuk ke dalam kajian partisipasi politik. Partisipasi sukarela dan mobilisasi hanya dalam aspek prinsip, bukan kenyataan tindakan: Intinya baik sukarela ataupun dipaksa, warganegara tetap melakukan partisipasi politik. Potret Indonesia

Ruang bagi partisipasi politik adalah sistem politik. Sistem politik memiliki pengaruh untuk menuai perbedaan dalam pola partisipasi politik warganegaranya. Pola partisipasi politik di negara dengan sistem politik Demokrasi Liberal tentu berbeda dengan di negara dengan sistem Komunis atau Otoritarian. Bahkan, di negara-negara dengan sistem politik Demokrasi Liberal juga terdapat perbedaan, seperti yang ditunjukkan Oscar Garcia Luengo, dalam penelitiannya mengenai E-Activism: New Media and Political Participation in Europe. Warganegara di negara-negara Eropa Utara (Swedia, Swiss, Denmark) cenderung lebih tinggi tingkat partisipasi politiknya ketimbang negara-negara Eropa bagian selatan (Spanyol, Italia, Portugal, dan Yunani). 

B.    Landasan Partisipasi Politik

Landasan partisipasi politik adalah asal-usul individu atau kelompok yang melakukan kegiatan partisipasi politik. Huntington dan Nelson membagi landasan partisipasi politik ini menjadi:

  1. kelas – individu-individu dengan status sosial, pendapatan, dan pekerjaan yang serupa. 
  2. kelompok atau komunal – individu-individu dengan asal-usul ras, agama, bahasa, atau etnis yang serupa. 
  3. lingkungan – individu-individu yang jarak tempat tinggal (domisilinya) berdekatan. 
  4. partai – individu-individu yang mengidentifikasi diri dengan organisasi formal yang sama yang berusaha untuk meraih atau mempertahankan kontrol atas bidang-bidang eksekutif dan legislatif pemerintahan, dan 
  5. golongan atau faksi – individu-individu yang dipersatukan oleh interaksi yang terus menerus antara satu sama lain, yang akhirnya membentuk hubungan patron-client, yang berlaku atas orang-orang dengan tingkat status sosial, pendidikan, dan ekonomi yang tidak sederajat.

C.    Mode Partisipasi Politik

Mode partisipasi politik adalah tata cara orang melakukan partisipasi politik. Model ini terbagi ke dalam 2 bagian besar: Conventional dan Unconventional. Conventional adalah mode klasik partisipasi politik seperti Pemilu dan kegiatan kampanye. Mode partisipasi politik ini sudah cukup lama ada, tepatnya sejak tahun 1940-an dan 1950-an. Unconventional adalah mode partisipasi politik yang tumbuh seiring munculkan Gerakan Sosial Baru (New Social Movements). Dalam gerakan sosial baru ini muncul gerakan pro lingkungan (environmentalist), gerakan perempuan gelombang 2 (feminist), protes mahasiswa (students protest), dan terror.

D.    Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik

Bentuk-bentuk partisipasi politik dapat dilakukan melalui berbagai macam kegiatan
dan melalui berbagai wahana. Namun bentuk-bentuk partisipasi politik yang terjadi di
berbagai negara dapat dibedakan menjadi kegiatan politik dalam bentuk konvensional dan
nonkonvensional, sebagaimana dikemukakan oleh Gabriel Almond.
Bentuk partisipasi politik menurut Gabriel Almond dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
bentuk konvensional dan bentuk nonkonvensional.
a. Bentuk konvensional
Bentuk konvensional antara lain:
1) dengan pemberian suara (voting),
2) dengan diskusi kelompok,
3) dengan kegiatan kampanye,
4) dengan membentuk dan bergabung dalam kelompok kepentingan,
5) dengan komunikasi individual dengan pejabat politik/administratif,
6) dengan pengajuan petisi.
b. Bentuk nonkonvensional
Bentuk nonkonvensional antara lain:
1) dengan berdemonstrasi,
2) dengan konfrontasi,
3) dengan pemogokan,
4) tindakan kekerasan politik terhadap harta benda, perusakan, pemboman dan pembakaran,
5) tindak kekerasan politik manusia penculikan/pembunuhan,
6) dengan perang gerilya/revolusi.
Sedangkan Ramlan Surbakti menyatakan bahwa partisipasi politik warga negara
dibedakan menjadi dua, yaitu partisipasi aktif dan partisipasi pasif.
a. Partisipasi aktif
Partisipasi aktif yaitu kegiatan warga negara dalam ikut serta menentukan kebijakan dan
pemilihan pejabat pemerintahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara demi kepentingan
bersama. Bentuk partisipasi aktif antara lain mengajukan usulan tentang suatu kebijakan,
mengajukan saran dan kritik tentang suatu kebijakan tertentu, dan ikut partai politik.
b. Partisipasi pasif
Partisipasi pasif yaitu kegiatan warga negara yang mendukung jalannya pemerintahan
negara dalam rangka menciptakan kehidupan negara yang sesuai tujuan. Bentuk partisipasi
pasif antara lain menaati peraturan yang berlaku dan melaksanakan kebijakan pemerintah.
Menurut Huntington dan Nelson, bentuk kegiatan utama dalam partisipasi politik dibagi
menjadi lima bentuk, yaitu:
a. kegiatan pemilihan,
b. lobi,
c. kegiatan organisasi,
d. mencari koneksi,
e. tindakan kekerasan.
Dengan demikian, berbagai partisipasi politik warga negara dapat dilihat dari berbagai
kegiatan warga, yaitu:
a. Terbentuknya organisasi-organisasi maupun organisasi kemasyarakatan sebagai bagian
dari kegiatan sosial dan penyalur aspirasi rakyat.
b. Lahirnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai kontrol sosial maupun pemberi
input terhadap kebijakan pemerintah.
c. Pelaksanaan pemilu yang memberi kesempatan warga negara untuk menggunakan hak
pilihnya, baik hak pilih aktif maupun hak pilih pasif.
d. Munculnya kelompok-kelompok kontemporer yang memberi warna pada sistem input dan
output kepada pemerintah.
Aktivitas politik merupakan salah satu indikator terjaminnya kehidupan yang demokratis.
Jaminan kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat tersalurkan melalui
kegiatan politik. Hanya saja, kegiatan politik yang dilakukan haruslah disesuaikan dengan
nilai-nilai luhur Pancasila. Budaya politik yang dilakukan bangsa Indonesia harus dijiwai
nilai-nilai luhur Pancasila.

Dimensi Subyektif Individu
Dimensi subyektif adalah serangkaian faktor psikologis yang berpengaruh terhadap keputusan seseorang untuk terlibat dalam partisipasi politik. Faktor-faktor ini cukup banyak, yang untuk kepentingan tulisan ini hanya akan diajukan 2 jenis saja yaitu Political Dissafection dan Political Efficacy.

Political Disaffection
Political Disaffection adalah istilah yang mengacu pada perilaku dan perasaan negatif individu atau kelompok terhadap suatu sistem politik. Penyebab utama dari political disaffection ini dihipotesiskan adalah media massa, terutama televisi. Hipotesis tersebut diangkat dari kajian Michael J. Robinson selama 1970-an yang mempopulerkan istilah “videomalaise”.

Dengan banyaknya individu menyaksikan acara televisi, utamanya berita-berita politik, mereka mengalami keterasingan politik (political alienation). Keterasingan ini akibat melemahnya dukungan terhadap struktur-struktur politik yang ada di sistem politik seperti parlemen, kepresidenan, kehakiman, partai politik, dan lainnya. Individu merasa bahwa struktur-struktur tersebut dianggap tidak lagi memperhatikan kepentingan mereka. Wujud keterasingan ini muncul dalam bentuk sinisme politik berupa protes-protes, demonstrasi-demonstrasi, dan huru-hara. Jika tingkat political disaffection tinggi, maka para individu atau kelompok cenderung memilih bentuk partisipasi yang sinis ini.

Political Efficacy. Political Efficacy adalah istilah yang mengacu kepada perasaan bahwa tindakan politik (partisipasi politik) seseorang dapat memiliki dampak terhadap proses-proses politik. Keterlibatan individu atau kelompok dalam partisipasi politik tidak bersifat pasti atau permanen melainkan berubah-ubah. Dapat saja seseorang yang menggunakan hak-nya untuk memiliki di suatu periode, tidak menggunakan hak tersebut pada periode lainnya. Secara teroretis, ikut atau tidaknya individu atau kelompok ke dalam bentuk partisipasi politik bergantung pada Political Political Efficacy ini.

Pernyataan-pernyataan sehubungan dengan masalah Political Efficacy ini adalah: 

  1. “Saya berpikir bahwa para pejabat itu tidak cukup peduli dengan apa yang saya pikirkan.” 
  2. "Ikut mencoblos dalam Pemilu adalah satu-satunya cara bagaimana orang seperti saya ini bisa berkata sesuatu tentang bagaimana pemerintah itu bertindak.” 
  3. “Orang seperti saya tidak bisa bicara apa-apa tentang bagaimana pemerintah itu sebaiknya.” 
  4. “Kadang masalah politik dan pemerintahan terlalu rumit agar bisa dimengerti oleh orang seperti saya.” 

Political efficacy terbagi 2 yaitu external political efficacy dan internal political efficacy. External political efficacy ditujukan kepada sistem politik, pemerintah, atau negara dan diwakili oleh pernyataan nomor 1 dan 3. Sementara internal political efficacy merupakan kemampuan politik yang dirasakan di dalam diri individu, yang diwakili peryataan nomor 2 dan 4. Dari sisi stabilitas politik, sebagian peneliti ilmu politik menganggap bahwa stabilitas politik akan lahir jika tingkat internal political efficacy rendah dan tingkat external political efficacy tinggi.

Referensi

  1. Christina Holtz-Bacha, Political Disaffection, dalam dalam Lynda Lee Kaid and Christina Holtz-Bacha, Encyclopedia of Political Communication, (California : Sage Publications, 2008) p.577-9. 
  2. Jan W. van Deth, Political Participation, dalam Lynda Lee Kaid and Christina Holtz-Bacha, Encyclopedia ..., ibid., p.531-2. 
  3. Kai Arzheimer, Political Efficacy, dalam Lynda Lee Kaid and Christina Holtz-Bacha, Encyclopedia ..., ibid., p.531-2. p. 579-80. 
  4. Oscar Garcia Luengo, E-Activism New Media and Political Participation in Europe, (CONFines 2/4 agosto-diciembre 2006) 
  5. Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990) h. 9-10.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar